BAB II
KAJIAN PUSTAKA/LANDASAN TEORI
A.
PENGERTIAN PPR (Paradigma pedagogi
Reflektif)
Berdasarkan nota Pastoral Pendidikan KWI 2008, hal 16:
“Pendekatan yang cocok antara lain Paradigma
Pedagogi Refleksi (PPR): Pola pembelajaran yang mengintegrasikan pemahaman
masalah dunia, kehidupan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses
yang terpadu, sehingga nilai – nilai itu muncul dari kesadaran dan kehendak
peserta didik melalui refleksinya”
”Paradigma” adalah pola pikir yang
melekat atau dihidupi oleh para pendidik (semua pihak yang terlibat dalam
pendidikan), terutama yang akan menjadi fasilitator. Paradigma sangat
menentukan POLA BERPIKIR dan POLA
BERTINDAK karena sudah menjadi semacam “patrun” atau “keyakinan”.
Paradigma ini biasanya menjadi bagian yang sangat sulit untuk diubah, kecuali
jika yang bersangkutan bersedia.
“Pedagogi” adalah cara para guru atau
fasilitator mendampingi para siswa selama bertumbuh dan berproses, termasuk di
dalamnya pandangan hidup serta visi mengenai pendidikan (menjadi agen perubahan
sosial). Pedagogy, the art and science of teaching, cannot simply be reduced
to methodology. It must include a world view and a vision of the ideal human
person to be educated. Seni dan
ilmu mengajar, yang tidak dapat begitu saja direduksi menjadi suatu metodologi.
Pedagogi memuat suatu pandangan dan
visi pribadi ideal yang terdidik.
”Refleksi” adalah metode internalisasi
nilai atau keutamaan yang diyakini paling efektif untuk membangun kepribadian
dan pembentukan karakter, dan sudah digunakan selama berabad-abad dalam
berbagai kegiatan retret dan formasi di kalangan gereja. The memory, the
understanding, the imagination and the feelings are used to capture the meaning
and the essential value of what is being studied, to discover its
relationship with other aspects of knowledge and human activity, and to appreciate
its implications in the ongoing search for truth and freedom. Proses kegiatan untuk mencermati/menangkap makna
dan nilai-nilai esensial dari apa yang dipelajari/dialami (proses pembatinan),
untuk dapat menemukan kaitan antara apa yang dipelajari (aspek pengetahuan)
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang pada akhirnya (implikasinya) adalah
menghargai proses pencarian terus menerus untuk memperjuangkan kebenaran dan
kebebasan.
Dapat disimpulkan bahwa PPR
(Paradigma Pedagogi Reflektif) merupakan Pola pembelajaran dengan
mengintegrasikan Pengetahuan, Pengalaman, dan sikap yang perlu di peroleh siswa
selama proses pembelajaran dengan mengedepankan pada nilai-nilai kemanusian sehingga siswa memperoleh
pengalaman hidup dan mampu untuk merefleksikannya.
B.
Latar
belakang munculnya PPR adalah:
Yang
menjadi latar belakang munculnya PPR (Paradigma Pedagogi Reflektif) adalah : Pembaharuan
agar pendidikan menengah Yesuit mampu menyumbangkan pada pengutusan kreatif dan
yang menyembuhkan dari gereja, sekarang dan di masa mendatang. Untuk itu
dibutuhkan Paradigma Pedagogi Ignasian yang bisa membantu para guru dan siswa
untuk memusatkan perhatian pada tugas mereka yang secara akademis sehat dan
membentuk pribadi menjadi manusia untuk sesama.
C. 4 Pilar hasil penerapan PPR adalah:
1. Kesadaran Diri
Pahami kekuatan, kelemahan,
nilai-nilai dan pandangan hidupnya
2. Kecerdikan dan Fleksibilitas
Berinovasi dan beradaptasi dengan
yakin untuk mensiasati perubahan
3. Cinta Kasih
Membangun relasi dengan sikap positif,
penuh cinta kasih
4. Heroisme (magis)
Menyemangati diri sendiri dan orang
lain
D. Kunci Sukses Penerapan PPR di Sekolah:
1.
Perubahan hati, keterbukaan budi dan semangat
untuk membuat terobosan baru demi ketercapaian hasil belajar.
2.
Teladan pribadi guru sebagai saranapembentukan
penghayatan nilai-nilai bagi siswa.
3.
Guru
memiliki hubungan dekat (Hati – Batin) dengan siswa, sehingga
tahu situasi dan kebutuhan siswa.
4.
Guru memiliki sikap dan menghayati semangat Yohanes Pembaptis: ”Ia harus semakin besar dan aku semakin kecil”. Siap membesarkan siswa, merasa tenang dan senang bahwa
siswanya dapat berkembang bahkan bisa
jadi akan melebihi gurunya.
E. Kelebihan PPR adalah:
1.
Dalam
praktik, PPR diintegrasikan dengan bidang studi yang diajarkan, maka tidak
diperlukan sarana atau prasarana khusus, di luar yang dibutuhkan oleh bidang
studi yang bersangkutan.
2.
PPR dapat
diterapkan pada semua kurikulum. Paradigma ini tidak menuntut tambahan bidang
studi baru, jam pelajaran tambahan, maupun peralatan khusus. Hal pokok yang
dibutuhkan hanyalah pendekatan baru pada cara kita mengajarkan mata pelajaran
yang ada.
3.
Untuk
menumbuhkembangkan sorang siswa menjadi pribadi yang dewasa dan manusiawi
dibutuhkan waktu lama. Namun melalui PPR tanda-tanda kalau mereka mulai
berkembang ke arah yang diharapkan cepat kelihatan.
4. Kalau sekolah sepakat dan semua guru
menerapkan PPR, dalam waktu satu tahun sudah terlihat jelas betapa siswa akrab
satu sama lain, mau solider dan saling membantu dalam belajar, mau saling
menghargai.
F. Peran Guru dalam PPR adalah:
1.
Menciptakan
kondisi untuk belajar melalui pengalaman
2.
Menyediakan
sarana & instruksi dalam belajar & refleksi
3.
Membimbing
para murid untuk mengaplikasikan, bertindak & meneliti lebih lanjut
4.
Menawarkan bahan untuk refleksi, menumbuhkan ketekunan murid.
5.
Menginspirasikan murid untuk bekerja, mendorong pencapaian hasil.
6.
Mengarahkan kemajuan dan semangat murid, mengontrol arahnya.
7.
Menilai hasil kerja murid, kritis terhadap apa yang dikerjakan
murid.
8.
Meneguhkan kemajuan murid,
9.
Mengevaluasi hasil kerja murid.
G.
Belajar
Diambil dari buku Belajar dan Pembelajaran
(Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud dan PT Rieneke Cipta) Oemar Hamalik (2001
: 27 ) mengemukakan pengertian belajar adalah suatu proses perubahan tingkah
laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Slameto (2003 : 2)
berpendapat bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suparwoto (2004 : 41) bahwa belajar pada intinya adalah proses
internalisasi dalam diri individu yang belajar dapat dikenali produk belajarnya
yaitu berupa perubahan, baik penguasaan materi, tingkah laku, maupun
keterampilan. William Burton mengemukakan bahwa ”A good learning situation
consist of a rich and varied series of learning experiences unified around a
vigorous purpose and carried on in interaction with a rich, varied and
propocative environment”. Yang berarti bahwa belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Di dalam
interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman – pengalaman belajar. Menurut
Winkel belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan
pemahaman.
Menurut
Ernest R. Hilgard belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari
perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Sifat perubahannya relatif permanen,
tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan
akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan
sebagainya (Purwanto, 2008 : 51)
Sedangkan
pengertian belajar menurut Gagne (Mulyani Sumantri & Johar Permana, 1999 :
16) belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan
tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam
situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan
terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan
serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah. Moh. Surya
dikutip oleh Nana Sudjana (2005 : 22) mendefinisikan belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksinya dengan lingkungan.
Oemar
Hamalik (1993 : 280) mengungkapkan empat prinsip belajar yaitu :
a. Belajar senantiasa harus bertujuan,
terarah, dan jelas bagi siswa, karena tujuan akan menuntut dalam belajar,
b. Jenis belajar yang paling utama adalah
untuk berpikir kritis,
c. Belajar memerlukan pemahaman atas hal –
hal yang dipelajari sehingga memperoleh pengertian – pengertian,
d. Belajar harus disertai keinginan dan
kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan dan hasil.
Dari
prinsip – prinsip tersebut memberikan penjelasan dalam memaknai belajar dan dapat
mengetahui apa saja yang perlu diperhatikan dalam mendukung proses
pembelajaran, sehingga pengertian dan pemahaman mengenai makna belajar menjadi
lebih jelas dan terarah. Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
di dalam belajar ada suatu perubahan tingkah laku dalam diri seseorang berupa
pengetahuan, pemahaman, maupun sikap yang diperoleh melalui proses belajar.
Perubahan tingkah laku yang diperoleh merupakan hasil interaksi dengan
lingkungan. Interaksi tersebut salah satunya adalah proses pembelajaran yang
diperoleh di sekolah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dengan belajar
seseorang dapat memperoleh sesuatu yang baru baik itu pengetahuan, keterampilan
maupun sikap.
1. Aktivitas
Belajar
Menurut Poerwadarminta (1990:23),
aktivitas adalah kegiatan. Jadi aktivitas adalah kegiatan-kegiatan siswa yang
menunjang keberhasilan belajar. Dalam hal kegiatan belajar, Rousseuau (dalam
Sardiman, 2004:96) memberikan penjelasan bahwa segala pengetahuan itu harus
diperoleh dengan pengamatan sendiri, dengan bekerja sendiri baik secara rohani
maupun teknis. Tanpa ada aktivitas proses belajar tidak mungkin terjadi.
Aktivitas belajar (Dimyati, 2002:140)
adalah seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan fisik
sampai kegiatan psikis. Kegiatan fisik berupa ketrampilan-ketrampilan dasar,
sedangkan kegiatan psikis berupa ketrampilan terintegrasi (integrated skill). Ketrampilan dasar yaitu mengobservasi,
mengklarifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan.
Sedangkan ketrampilan terintegrasi terdiri dari mengidentifikasi variabel,
membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan
hubungan antar variabel, menyimpulkan dan mengolah data, menganalisis
penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara opersional,
merancang penelitian dan melakukan eksperimen.
Prinsipnya belajar adalah berbuat, tidak
ada belajar jika tidak ada aktivitas. Itulah mengapa aktivitas merupakan
prinsip yang sangat penting dalam interaksi belajar mengajar (Sardiman,
2004:93). Dalam aktivitas belajar ada beberapa prinsip yang berorientasi pada
pandangan ilmu jiwa, yaitu pandangan ilmu jiwa lama dan modern. Aktivitas
menurut pandangan ilmu jiwa lama didominasi oleh guru, sedangkan menurut
pandangan ilmu jiwa modern, aktivitas didominasi oleh siswa.
2. Jenis-jenis
Aktivitas Belajar
Beberapa
aktivitas belajar menurut Djamarah (2002:28) adalah sebagai berikut :
a. Mendengarkan
Mendengarkan adalah salah satu
aktivitas belajar. Setiap orang yang belajar di sekolah pasti ada aktivitas
mendengarkan. Ketika seorang guru menggunakan metode ceramah, maka setiap siswa
diharuskan mendengarkan apa yang guru sampaikan. Menjadi pendengar yang baik
dituntut dari mereka.
b. Memandang
Memandang
adalah mengarahkan penglihatan ke suatu objek. Aktivitas memandang berhubungan
erat dengan mata. Karena dalam memandang itu matalah yang memegang peranan
penting. Tanpa mata tidak mungkin terjadi aktivitas memandang.
c. Meraba, Membau, dan Mencicipi/Mengecap
Aktivitas
meraba, membau dan mengecap adalah indera manusia yang dapat dijadikan sebagai
alat untuk kepentingan belajar. Artinya aktivitas meraba, membau dan mengecap
dapat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Tentu saja
aktivitasnya harus didasari oleh suatu tujuan.
d. Menulis atau Mencatat
Menulis atau
mencatat merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari aktivitas belajar.
Dalam pendidikan tradisional kegiatan mencatat merupakan aktivitas yang sering
dilakukan, walaupun pada waktu tertentu seseorang harus mendengarkan isi
ceramah, namun ia tidak bisa mengabaikan masalah mencatat hal-hal yang dianggap
penting.
e. Membaca
Aktivitas
membaca adalah aktivitas yang paling banyak dilakukan selama belajar di sekolah
atau di perguruan tinggi. Membaca di sini tidak mesti membaca buku berkala,
tetapi juga membaca majalah, koran, tabloid, jurnal-jurnal hasil penelitian,
catatan hasil belajar atau kuliah dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
kebutuhan studi.
f. Membaca Ikhtisar atau Ringkasan dan
Menggarisbawahi
Ikhtisar atau
ringkasan dapat membantu dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam
buku untuk masa-masa yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang intensif,
bagaimanapun juga hanya membuat ikhtisar saja belumlah cukup. Sementara
membaca, pada hal-hal yang penting perlu diberi garis bawah (underlining). Hal ini sangat membantu
dalam usaha menemukan kembali materi itu di kemudian hari bila diperlukan.
g. Mengamati Tabel-tabel, Diagram-diagram dan
Bagan-bagan
Dalam buku
atau di lingkungan lain sering dijumpai tabel-tabel, diagram atau pun
bagan-bagan. Materi non-verbal semacam ini sangat membantu bagi seseorang dalam
mempelajari materi yang relevan. Demikian pula gambar-gambar, peta-peta dan
lain-lain dapat menjadi bahan ilustratif yang membantu pemahaman seseorang
terhadap sesuatu hal.
h. Menyusun Paper atau Kertas Kerja
Dalam menyusun
paper tidak bisa sembarangan, tetapi harus metodologis. Metodologis artinya
menggunakan metode-metode tertentu dalam penggarapannya. Sistematis artinya
menggunakan kerangka berpikir yang logis dan kronologis.
i.
Mengingat
Mengingat yang
didasari atas kebutuhan serta kesadaran untuk mencapai tujuan belajar lebih
lanjut termasuk aktivitas belajar. Apalagi jika mengingat itu berhubungan
dengan aktivitas-aktivitas belajar yang lainnya.
j.
Berpikir
Berpikir
termasuk aktivitas belajar. Dengan berpikir orang memperoleh penemuan baru,
setidak-tidaknya orang menjadi tahu tentang hubungan antara sesuatu.
k. Latihan atau Praktek
Learning by doing adalah konsep belajar yang menghendaki adanya
penyatuan usaha mendapatkan kesan-kesan dengan cara yang baik untuk memperkuat
ingatan.
Paul
B. Diedrich (dalam Sardiman, 2004:101) membuat suatu daftar yang berisi 177
macam kegiatan siswa yang antara lain dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Visual activities, yang termasuk di
dalamnya misalnya membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan.
2) Oral activities, seperti menyatakan,
merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan
wawancara, diskusi, interupsi.
3) Listening activities, sebagai contoh
mendengarkan uraian, mendengarkan percakapan, mendengarkan musik, mendengarkan
pidato.
4) Writing activities, seperti misalnya
menulis cerita, karangan, laporan, angket menyalin.
5) Drawing activities, misalnya menggambar,
membuat grafik, peta, diagram.
6) Motor activities, yang termasuk di
dalamnya anatara lain melakukan percobaan, membuat konstruksi, model
mereparasi, bermain, berkebun, beternak.
7) Mental activities, sebagai contoh
misalnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan,
mengambil keputusan.
8) Emotional activities, seperti misalnya
menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang,
gugup.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses dimana siswa mencari
pengalaman baru dalam hidupnya sehingga dengan pengalaman baru tersebut dapat
terjadi perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.
H. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Kata prestasi menurut Poerwadarminta
(1999:768) adalah “hasil yang telah dicapai atau dilakukan, dikerjakan dan
sebagainya”. Menurut Winkel (1991:162)” prestasi adalah bukti keberhasilan
usaha yang dicapai”.
Belajar
menurut Kingsley (dalam Djamarah, 2002:13) adalah proses dimana tingkah laku
(dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktik dan latihan.
Sedangkan menurut Slameto (2003:2), belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya. Hamalik (2003:52) mengatakan belajar adalah
modifikasi untuk memperkuat tingkah laku melalui pengalaman dan latihan serta
suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan
lingkungannya.
Berdasarkan
pendapat di atas disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan
individu untuk memperoleh beberapa perubahan tingkah laku melalui pengalaman
dan latihan serta suatu proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap
sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dengan lingkungannya.Prestasi
belajar adalah hasil yang dicapai seorang siswa setelah mengikuti pelajaran di
sekolah sehingga terjadi perubahan dalam dirinya dengan melihat hasil
penguasaan pengetahuan dan ketrampilan yang dikembangkan oleh guru setelah
mengikuti assessment atau penilaian
dan evaluasi. Penilaian dan evaluasi ini digunakan untuk mengukur prestasi
belajar siswa yang merupakan tujuan dari pembelajaran.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar.
a.
Faktor Intern
1)
Jasmani
Prestasi
belajar ditentukan adanya struktur tubuh, panca indera (indera penglihatan,
indera penciuman, indera pendengaran, indera peraba dan indera perasa) dan lain
sebagainya.
2)
Psikologis
Kecerdasan,
bakat, minat, kecakapan, sikap dan motivasi juga menentukan prestasi belajar.
3) Kematangan Fisik dan Psikis
Prestasi
belajar dan kemampuan belajar seseorang juga ditentukan oleh kematangan fisik
dan psikis orang tersebut.
b. Faktor Ekstern
1) Lingkungan Keluarga
Prestasi
belajar dipengaruhi oleh cara orang tua mendidik di rumah, latar belakang
pendidikan orang tua, tingkat ekonomi keluarga dan sebagainya.
2) Lingkungan Sekolah
Di sekolah,
prestasi belajar dipengaruhioleh cara belajar, metode mengajar yang diterapkan
oleh guru, kurikulum yang berlaku, sikap guru, evaluasi dan penilaian yang
diterapkan, administrasi sekolah dan lain-lain.
3) Lingkungan Masyarakat
Prestasi belajar dipengaruhi oleh adat istiadat
setempat, budaya yang berlaku, pergaulan dalam masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi dan sebagainya.
Prestasi
belajar merupakan serangkain pengalaman, pengetahuan, sikap yang diperoleh siswa
setelah melakukan proses belajar.
I.
Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Dimyati dan
Mudjiono (1999:250-251) merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu
sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat
perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum
belajar. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat
terselesaikannya bahan pelajaran.
Menurut Sudjana (1989:2) hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.
Menurut pendapat Kingsley dalam (Hamalik, 2006:20) hasil belajar digunakan oleh
guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan
pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan
diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Hasil belajar ini
akan melekat terus pada diri siswa karena sudah menjadi bagian dalam kehidupan
siswa tersebut.
Hasil belajar merupakan kegiatan yang
memuat 3 aspek, yakni aspek afektif, aspek psikomotor, aspek kognitif. Untuk
penelitian ini akan difokuskan pada dua aspek yakni aspek afektif pada
keaktifan belajar siswa, dan aspek kognitif prestasi belajar siswa. Sedangkan
aspek psikomotor merupakan variabel dianggap kurang dominan dalam pembelajaran
penelitian ini, dianggap variabel intervening (diabaikan).
J.
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik
untuk Sekolah Dasar (SD)
1. Latar Belakang
Agama memiliki
peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi
pemandu dalam upaya mewujudkan suatu
kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran agama amat
penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan
setiap pribadi menjadi sebuah
keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di
lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Pendidikan Agama dimaksudkan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual.
Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujutan dari
pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman,
dan penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan individual ataupun kolektif
kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi
berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat
dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana
dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
ajaran Gereja Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama
lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional. Dari
pengalaman dapat dilihat bahwa apa yang diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak
selalu membuat hidup seseorang sukses dan
bermutu. Tetapi kemampuan, keuletan dan kecekatan seseorang untuk mencernakan
dan mengaplikasikan apa yang diketahui dalam hidup nyata, akan membuat hidup
seseorang sukses dan bermutu. Demikian
pula dalam kehidupan beragama. Orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh
apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya
bagaimana ia menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam
hidup nyata sehari-hari. Seorang beriman yang sejati seorang yang senantiasa
berusaha untuk melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup
nyatanya, dan berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah bagi dirinya dalam
konteks hidup nyatanya. Oleh karena itu Pendidikan agama Katolik di sekolah
merupakan salah satu usaha untuk memampukan peserta didik menjalani proses
pemahaman, pergumulan dan penghayatan iman dalam konteks hidup nyatanya. Dengan
demikian proses ini mengandung unsur
pemahaman iman, pergumulan iman, penghayatan iman dan hidup nyata.
Proses semacam ini diharapkan semakin
memperteguh dan mendewasakan iman peserta didik. Standar kompetensi dan kompetensi dasar
untuk Sekolah Dasar ini merupakan standar umum yang minimal.
Minimal dalam konteks ini berarti mengandung dasar-dasar umum ajaran iman
Katolik yang harus diketahui, dihayati dan diamalkan para peserta didik. Karena
bersifat umum dan minimal maka dapat membuka peluang bagi pengayaan lokal
sesuai kebutuhan sekolah setempat.
2. Tujuan
Pendidikan Agama Katolik (PAK)
Pendidikan
Agama Katholik pada dasarnya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
untuk membangun hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman Kristiani
berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki
keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi
dan peristiwa penyelamatan: situasi dan perjuangan untuk perdamaian dan
keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan,
kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap orang dari pelbagai
agama dan kepercayaan.
3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup
pembelajaran dalam Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Dasar mencakup empat
aspek yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Keempat aspek yang
dimaksudkan adalah: 1. Pribadi peserta
didik; Aspek ini membahas tentang pemahaman diri sebagai pria dan
wanita yang memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan dalam
berelasi dengan sesama serta lingkungan sekitarnya. 2. Yesus Kristus; Aspek ini membahas tentang bagaimana
meneladani pribadi Yesus Kristus yang mewartakan Allah Bapa dan Kerajaan
Allah. 3. Gereja; Aspek ini membahas tentang
makna gereja, bagaimana mewujudkan kehidupan menggereja dalam realitas hidup
sehari-hari. 4. Kemasyarakatan; Aspek ini membahas secara mendalam tentang
hidup bersama dalam masyarakat sesuai dengan firman Allah/sabda Tuhan, ajaran
Yesus dan ajaran Agama
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan Supriyono, W. 2004. Psikologi Belajar ( Edisi Revisi ).
Jakarta: Rieneke Cipta.
Dalyono, M. , 1997. Psikologi Pendidikan Cetakan I. Jakarta:Rieneke Cipta
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :
Depdikbud dan PT Rieneke Cipta
Djamarah, S.B. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta:Rieneke Cipta
Hamalik, O. 2006. Proses Belajar Mengajar. Bandung:Bumi Aksara.
Hardjana, A. G, 2007. Model-model Pembelajaran Dalam Pendidikan Agama Katolik Di Sekolah
Dasar. Semarang:LPMP
Hofmann, Ruedi. (1988. Sebuah Gagasan:Kitab Suci dan Sekolah
Minggu. Rohani, Januari
halaman 10 – 13
Jacobs, Tom,1992. Silabus Pendidikan Iman Katolik. Yogyakarta : Kanisius.
Komkat, 2004.Menjadi Murid Yesus 4. Yogyakarta:Kanisius
Poerwadarminta, W.J.S. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Purwanto, N. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Sardiman, A.M. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta:PT. Raja Grapindo
Persada.
Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rieneke
Cipta.
Sudjana, N. 1989. Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:Remaja Rosda
Karya.
Winkel, W.S. 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta:
Gramedia.
Terimakasih.ini bagus untuk saya
ReplyDeletemantap mas tapi bab selanjutnya kok gak ada min
ReplyDelete